Selasa, 06 Januari 2009

Puisi Kemarin Tuhan Mengirim Email Padaku

Sajak-sajak Bambang Sukmawijaya



Kemarin Tuhan Mengirim E-mail Padaku


begitu kubaca
ada namamu
tertulis jelas
bahkan terlalu terang
hingga membuat komputerku heng dan mati

begitu kuhidupkan kembali
di situ ada wajahmu
tergambar dalam format j-peg
buru-buru aku mendownloadnya

karena tak pernah ada pengiriman kedua
untuk cinta yang tulus

Selasa, 20 November 2007

Cerpen Tuhan Maha Banyak

Tuhan Maha Banyak
Cerpen: Bambang Sukmawijaya


Sejak lahir, saya cuma mengenal satu Tuhan. Tuhan satu. Tuhan yang maha satu. Tak ada Tuhan lain dalam kamus saya selain Tuhan yang satu. Dan tak ada pengetahuan lain dalam benak saya selain satu Tuhan. Saya sudah terbiasa dicecoki dengan anggapan bahwa Tuhan hanya satu, dan kita hanya boleh percaya pada satu Tuhan. Saya pun menerimanya dengan lapang dan sungguh-sungguh dan tak membantah karena hati dan akal saya dan semua orang yang saya kenal pun menerimanya. Tak ada alasan untuk menganggap Tuhan tidak satu. Lantas karena Tuhan yang saya kenal cuma satu, maka saya pun lebih mudah mengenal sifat-sifatNya dan mempelajari apa saja yang Dia mau dan yang tidak Dia mau. Bayangkan, cuma satu! Dan kamu cuma mengenal dan mempelajari yang cuma satu itu saja. Beban dan kesulitanmu tentu lebih ringan dibandingkan kamu harus mengenal dan mempelajari lebih dari satu Tuhan. Pasti repot, dan pasti berat.

Tapi alangkah terkejutnya saya ketika dewasa mulai mengetahui ternyata ada banyak Tuhan di mana-mana. Saya tahu betul bagaimana Tuhan. Saya tahu betul hak-hak dan peran istimewanya yang tak mungkin dipegang oleh yang bukan Tuhan. Maka saya bisa membedakan mana Tuhan dan mana bukan Tuhan. Ini benar-benar Tuhan. Ini bertebaran di mana-mana.

Tuhan-lah yang punya hak memvonis seseorang berdosa atau tidak, berpahala atau tidak, tapi saya melihat banyak sekali yang bisa memvonis seseorang berdosa atau tidak, berpahala atau tidak.

Tuhan pula yang berhak menentukan kebenaran mutlak, tapi saya melihat banyak sekali yang bisa menentukan bahkan memaksakan kebenaran mutlak. (Jadi dia lebih Tuhan dari Tuhan?).

Hanya Tuhan yang berhak mengampuni atau tidak mengampuni dosa, tapi saya menyaksikan banyak sekali yang bertindak mengampuni dan tidak mengampuni dosa.

Hanya Tuhan tempat menggantungkan harapan dan keinginan paling afdol, tapi saya menyaksikan banyak sekali yang menjadi tempat menggantungkan harapan dan keinginan bahkan permintaan yang muskil.

Saya heran, karena selama ini saya cuma mengenal satu Tuhan. Tahu-tahu ada banyak Tuhan di mana-mana. Mereka sebagaimana Tuhan bisa memvonis seseorang berdosa atau tidak, berpahala atau tidak. Mereka sebagaimana Tuhan bisa menentukan bahkan memaksakan kebenaran mutlak. Mereka sebagaimana Tuhan bisa mengampuni dan tidak mengampuni dosa. Mereka sebagaimana Tuhan menjadi tempat menggantungkan harapan dan keinginan bahkan permintaan yang muskil. Mereka sebagaimana Tuhan berlaku apa saja yang hanya boleh dilakukan dan diperani oleh Tuhan. Dan mereka bertaburan di mana-mana. Menyebar, beranak pinak, bermutasi, berkeliaran memenuhi permukaan bumi sampai nyaris yang terlihat hanya Tuhan dan Tuhan. Astaga, jadi Tuhan maha banyak?

***

Subuh ini, seperti biasa, saya hendak beribadah ke tempat ibadah saya di mana saya bisa merasakan dan hanya menganggap satu Tuhan. Saya berjalan dalam keremangan, karena matahari belum menampakkan sinarnya yang sumringah. Suara serangga malam masih terdengar mengiringi ketika saya menyusuri jalan menuju rumah Tuhan saya yang maha satu. Alunannya lembut, berirama, cantik sekali. Hingga siapapun yang mendengarnya pasti akan bersyukur dan merasa damai. Inilah keajaiban subuh sebagai pengawal hari jika saja yang lain yang masih lelap mengetahuinya. Tapi keajaiban dan kedamaian dan kebahagiaan itu sontak buyar begitu saya hampir tiba di rumah ibadah saya. Saya melihat banyak sekali orang yang dengan rakus dan geram melempar tempat ibadah saya, mengguncang-guncang pilar-jendela-pintu-tembok dan mencopotnya dengan paksa, menghantam-hantamnya dengan palu dan batang kayu besar, bahkan kemudian saya melihat mereka menyulut api dan membakarnya. Astaga, ada apa ini? Saya mendengar mereka sambil meneriak-neriakkan nama Tuhan. Astaga, apa pula ini?

“Bakar!!!”

“Hancurkan!!!”

“Tuhan maha besarrr!!!”

Ketika saya mendekat dan menyamar pura-pura seperti mereka, barulah saya bisa mengerti dan melihat lebih jelas. Rupanya mereka sengaja membawa-bawa nama Tuhan, mereka sengaja menyamar sebagai ciptaan Tuhan yang mengagungkan Tuhan untuk menutupi kedok mereka sendiri yang sebenarnya adalah Tuhan yang memang hanya Tuhan yang memiliki hak memaksakan kebenaran mutlak dengan cara apapun yang Dia mau. Hanya Tuhan yang bisa memvonis seseorang berdosa atau salah sehingga bisa melakukan apa saja untuk menghukum ataupun menghabisi yang berdosa atau salah itu beserta tempat-tempat ibadahnya bahkan tempat-tempat hidupnya. Hanya Tuhan yang bisa dan boleh. Tapi mereka sengaja tidak mau menampilkan dan mengakui diri mereka Tuhan, karena mereka ingin jaga image. Mereka ingin dikenal sebagai Tuhan yang hanya senantiasa menggunakan haknya sebagai yang maha bijaksana. Tak heran maka mereka sengaja menyamar sebagai manusia sehingga mereka bebas melempar-lempar, memporak-poranda, dan membakar-bakar untuk memuaskan kegemasan dan keserakahan mereka akan kebenaran yang tidak dituruti oleh orang-orang yang tak mau menurut. Mereka berbuat begitu supaya yang terlihat adalah manusia memang begitu, padahal yang bisa dan boleh begitu hanya Tuhan yang maha berkehendak dan maha bisa berbuat apa saja. Lagi-lagi, mereka adalah Tuhan yang menipu sebagai manusia. (Karena manusia tak mungkin merampas menjadi Tuhan, kaaan?).

Saya beringsut keluar dari kerumunan mereka yang berapi-api, karena merasa gerah dan ingin selamat. Saya ingin menjadi diri sendiri. Saya ingin kembali sebagaimana manusia dengan kemanusiaan saya yang seperti biasa, dengan segala keyakinan dan kebahagiaan saya yang tetap menganggap Tuhan maha satu. Saya gerah dan merasa tidak nyaman bersama mereka, berperan sebagai mereka (bagaimana mungkin mereka bisa senyaman dan senikmat itu menyamar-nyamar dan berperan-peran sepanjang hayat kalau saya saja yang baru beberapa menit sudah merasa kegerahan dan tidak nyaman? Hebat mereka!).

Tapi usaha saya untuk keluar dengan selamat rupanya terhadang oleh beberapa dari mereka yang memergoki saya. Mereka mencegat, dan menanyai dengan pandangan curiga.

“Mau ke mana?”

“Pulang.”

“Ini belum selesai.”

“Tapi saya ingin pulang.”

“Kamu tidak boleh pulang.” (nah sifat Tuhannya keluar).

“Saya gerah, saya capek.”

“Kamu harus tetap di sini bersama-sama.”

“Saya ingin pulang.”

“Tidak boleh…”

“Atau jangan-jangan…”

“Jangan-jangan…”

“Jangan-jangan dia pengikut tempat ibadah ini…”

“Ya, jangan-jangan dia…”

“Benar… dia…”

“Dia salah satunya!”

“Ayo seret dia!”

“Bawa dia!”

Lalu saya tak bisa tidak hanya menuruti mereka. Saya dikepit, digiring beramai-ramai, dan dibawa ke suatu ruang yang tidak saya kenal. Saya ditanya-tanyai, digertak-gertak, dituding-tuding, disuruh bertobat, disuruh mengakui seperti apa yang mereka inginkan. Saya disuruh mengakui untuk tidak meyakini keyakinan saya. Padahal saya hanya meyakini hanya satu Tuhan.

***

Mungkin karena mereka gemas, saya lantas dibawa ke pemimpin mereka. Saya dikuliahi. Saya dikhotbahi. Saya bahkan disiramkan air penawar yang telah dikomat-kamiti karena mengira saya mungkin kesurupan. Tapi saya tetap teguh dengan keyakinan saya. Saya masih diceramahi dengan (sok) bijaksana. Tapi saya tetap tidak mau mengakui apa yang mereka inginkan saya yakini. Saya katakan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan.

Mereka senyum-senyum.

Saya katakan bahwa kekuasaan untuk menghakimi seseorang berdosa atau tidak, berpahala atau tidak, hanya milik Tuhan.

Mereka menyeringai.

Saya katakan bahwa kemampuan untuk mengampuni atau tidak mengampuni dosa hanya milik Tuhan.

Mereka tertawa.

Saya katakan bahwa tempat bergantung dan meminta bahkan yang paling muskil sekalipun hanya kepada Tuhan.

Mereka tergelak sampai mata mereka berair.

“Tahukah kau, bahwa kamilah Tuhan?”

Dalam hati saya berkata, akhirnya mereka mau juga mengakuinya.

“Tapi saya tidak meyakini banyak Tuhan,” sahut saya.

Mereka terdiam.

Mereka tiba-tiba tak bereaksi.

Mereka tiba-tiba ‘mengheningkan cipta’.

Saya heran, dan menatap mereka satu-satu. Tapi satu-satu mereka memalingkan muka. Lalu tahu-tahu dari samping ada yang menangkap dan memelintir tangan saya. Saya kembali diseret keluar. Saya melihat tatapan mata Tuhan-Tuhan hakim pemvonis dosa menyala murka. Saya melihat tatapan mata Tuhan-Tuhan pengklaim kebenaran berkilat-kilat seperti petir. Saya melihat tatapan mata Tuhan-Tuhan pengampun dosa menyalak geram. Saya melihat tatapan mata Tuhan-Tuhan tempat bergantung dan meminta tampak membara seperti siap melahap hangus apapun di hadapannya. Saya diseret paksa dan ditarik-tarik seperti budak belian.

Lalu tibalah kami di tempat gelap di pinggiran hutan. Saya didiamkan dan diikat di dekat pohon sementara orang-orang mulai menggali tanah. Cahaya kurus matahari pagi satu-satu mulai datang dengan biasnya yang tipis. Entah mengapa hati saya seperti sendu. Cahaya itu seperti datang mengucap salam pada saya, tapi sekaligus menyampaikan rasa iba. Saya merasakan angin bertiup semilir, menyejukkan. Angin itu seperti datang melintas untuk ikut menyaksikan apa yang akan terjadi pada saya. Ia membisikkan sesuatu yang tidak saya mengerti, karena dengan cepat ia mengepakkan sayapnya ke atas dan menyentuh ranting-ranting dan daun-daun hingga terdengar seperti alunan lagu yang melenakan. Mungkin ia bermaksud menghibur saya tapi hatinya takut-takut. Saya menatap ke atas, ke ranting-ranting yang tinggi. Saya ingin mengucapkan selamat tinggal. Tapi mereka seperti tidak memperhatikan saya. Perhatian mereka seperti tercurah ke liang persegi empat yang sudah siap di hadapan mereka. Wajah mereka tampak tegang dan hening.

“Ayo, kubur dia sekarang!”

Lalu dua orang, ah tiga orang, ah empat orang sekonyong-konyong menghampiri saya dan membuka ikatan saya dan menyeret saya ke liang gelap persegi empat itu. Tanpa menunggu aba-aba lagi mereka segera mendorong punggung saya sehingga saya jatuh terjerembab di tanah yang basah dan dingin.

Saya masih mendengar ucapan salah satu dari Tuhan-Tuhan itu sebelum butir-butir tanah satu-satu menimbun tubuh saya.

“Biarkan dia mati! Karena orang seperti dia akan membuat kita-kita tidak lagi merasa sebagai Tuhan. Lalu apa istimewanya kita?”

Sampai gelap menyelubungi pandangan saya, sampai tanah menghimpit tubuh saya, sampai tak ada bunyi dan lagu yang menghibur saya, keyakinan saya tetap satu: bahwa tak ada Tuhan selain tuhan yang satu. Semaha apapun banyaknya Tuhan di sekeliling saya.

Cimahi, Sabtu 18 Februari 2006: 12:56 wib

published on Syir'ah Magazine on Dec, 2006